Jumat, 18 April 2014

Memaafkan


Oleh: Nita Silvianti

Sungguh, memaafkan adalah hal yang tidak asing dalam kehidupan kita sehari-hari.. Hal yang juga sangat penting. Berapa banyak dari kita yang pernah melakukan kesalahan dan meminta maaf? Berapa banyak pula dari kita yang sering diperlakukan dengan 'salah' oleh orang lain dan dimintakan maafnya? Jadi, sebenarnya tanpa dijelaskan oleh teori pun, insyaALLAH teman-teman pasti sudah tau =)


Di bawah ini, tertulis beberapa prinsip mulia Islam dalam etika berhubungan sosial dengan sesama makhluk terutama dengan seorang muslim.



1. Memaafkan Sebuah Kezhaliman Lebih Baik daripada Mendendam Dibawa Sampai ke Akhirat

Memaafkan seseorang yang pernah berbuat kezhaliman kepada kita, apapun bentuk kezhalimannya, adalah merupakan syariat Islam dan sesuatu yang diperintahkan di dalam Alquran yang mulia serta dicontohkan di dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung.

Memang berat, tapi ganjaran pahalanya juga sangat besar, yaitu diampuni Allah Ta’ala dosa-dosanya. Mari kita perhatikan ayat dan hadits mulia berikut:

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ .. النور: 22

"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin, dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An Nur: 22).

Ayat ini diturunkan menceritakan kisah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu, yang telah bersumpah untuk tidak lagi membiayai dan menafkahi Misthah bin Utsatsah radhiallahu ‘anhu, karena Misthah radhiallahu ‘anhu termasuk orang yang mengatakan berita dusta tentang Aisyah radhiallahu 'anha.

Dan ketika Allah Ta’ala telah menurunkan ayat yang menjelaskan tentang keterlepasan Aisyah radhiallahu 'anha dari segala tuduhan yang telah dibuat-buat kaum munafik tersebut, kemudian keadaan kaum muslim menjadi tenang kembali, Allah Ta’ala memberikan taubat-Nya kepada kaum beriman yang ikut berkata dalam berita ini, dan diberikan pidana atas yang berhak mendapatkan hukuman karena perbuatannya.

Maka Allah dengan kemuliaan dan kemurahan-Nya, mengajak Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu untuk memaafkan Misthah radhiallahu ‘anhu, yang juga merupakan anak bibi beliau, seorang miskin yang tidak mempunyai harta kecuali hanya dari pemberian Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu saja, dan Misthah radhiallahu ‘anhu termasuk dari kaum Muhajirin serta telah diterima taubatnya oleh Allah Ta’ala, apalagi Misthah radhiallahu ‘anhu sudah mendapatkan hukuman pidana atas perbuatannya tersebut. Lalu apa sikap Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu akhirnya, mari perhatikan hadits berikut:

أَنَّ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - زَوْجَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم – قَالَتْ: "... فَلَمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ هَذَا فِى بَرَاءَتِى قَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ - رضى الله عنه - وَكَانَ يُنْفِقُ عَلَى مِسْطَحِ بْنِ أُثَاثَةَ لِقَرَابَتِهِ مِنْهُ ، وَفَقْرِهِ وَاللَّهِ لاَ أُنْفِقُ عَلَى مِسْطَحٍ شَيْئًا أَبَدًا بَعْدَ الَّذِى قَالَ لِعَائِشَةَ مَا قَالَ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( وَلاَ يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِى الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلاَ تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ) قَالَ أَبُو بَكْرٍ بَلَى ، وَاللَّهِ إِنِّى أُحِبُّ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لِى ، فَرَجَعَ إِلَى مِسْطَحٍ النَّفَقَةَ الَّتِى كَانَ يُنْفِقُ عَلَيْهِ ، وَقَالَ وَاللَّهِ لاَ أَنْزِعُهَا مِنْهُ أَبَدًا

Aisyah radhiallahu 'anha Istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Ketika Allah telah menurunkan keterlepasanku (dari berita dusta yang disebarkan kaum munafik), Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu berkata tentang Misthah bin Utsatsah radhiyallahu 'anha, yang mana Misthah adalah orang yang beliau nafkahi, karena hubungan kekerabatannya dengan beliau dan karena kemiskiannya: "Demi Allah, selamanya aku tidak akan menafkahi Misthah sedikit pun, setelah apa yang ia katakan tentang Aisyah radhiallahu 'anha", maka Allah-pun menurunkan ayat :
وَلاَ يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِى الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلاَ تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ


"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Maka Abu bakar berkata, "Tentu, demi Allah, aku menginginkan agar aku diampuni Allah Ta’ala". Maka beliau kembali memberi nafkah kepada Misthah yang dulu beliau beri nafkah. Dan beliau berkata, "Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan nafkah untuknya." (HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Tafsir Alquran Al Azhim, karya Ibnu Katsir rahimahullah).

Jadi…Abu Bakar radhiallahu ‘anhu yang awalnya ingin menghentikan membiayai Misthah radhiallahu ‘anhu, disebabkan Misthah radhiyallahu 'anhu termasuk orang yang ikut berkata akan berita dusta tentang Aisyah radhiallahu 'anha yang telah diprakarsai oleh kaum munafik, tetapi setelah melihat ganjaran pahala yang begitu besar dari Allah Ta’ala jika beliau memaafkan Misthah radhiallahu ‘anhu, maka Abu Bakar radhiallahu ‘anhu pun memilih untuk mendapatkan ganjaran tersebut, yaitu berupa ampunan dari Allah Ta’ala, daripada menyimpan dendam yang tiada habisnya. Allahu Akbar!.

Maafkanlah kesalahan saudara-saudara kita, apalagi orang tua kita, apapun kesalahannya, jangan dendam tersebut selalu menyesakkan dada kita, apakah kita tidak mau mendapatkan ampunan Allah Ta’ala.
Memaafkan = Mendapat Ampunan Allah Ta’ala.

2. Memaafkan Harus Dibarengi dengan Perasaan Lapang Dada
Kesempurnaan sikap memaafkan adalah jika dibarengi dengan perasaan lapang dada, yang menganggap seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Sebagian mungkin bisa memaafkan tetapi tidak bisa lapang dada, contohnya; Si A telah memaafkan B, orang yang pernah berbuat salah kepadanya tetapi:
- si A tidak ingin lagi bertemu dengan si B,
- si A malas untuk berkumpul bersama dengan si B lagi,
- si A masih selalu mengungkit kesalahan si B,
- si A tidak mau lagi berurusan dengan si B,
- si A tidak lagi mau menolong si B, jika si B membutuhkan pertolongan,
dan contoh-contoh yang lain masih banyak. Mungkin bisa cari sendiri.

Padahal, kalau kita perhatikan ayat-ayat suci Alquran, maka seorang muslim diperintah untuk memaafkan dengan dibarengi lapang dada, mari kita perhatikan:

ﻭَﻟْﻴَﻌْﻔُﻮﺍ ﻭَﻟْﻴَﺼْﻔَﺤُﻮﺍ ] ﺍﻟﻨﻮﺭ : 22 ]
"…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada…" (QS. An Nur: 22).

Di dalam ayat yang mulia ini terdapat pelajaran yaitu: Perintah untuk memaafkan dan lapang dada, walau apapun yang didapatkan dari orang-orang yang pernah menyakiti. (Lihat Tafsir al Karim Ar Rahman fi Tafsir Al Kalam Al Mannan, karya As Sa'di rahimahullah).

ﻓَﺎﻋْﻒُ ﻋَﻨْﻬُﻢْ ﻭَﺍﺻْﻔَﺢْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤُﺤْﺴِﻨِﻴﻦَ ] ﺍﻟﻤﺎﺋﺪﺓ : 13 ]
"…maka maafkanlah mereka dan lapangkanlah dada, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al Maidah: 13).
Ayat yang mulia ini memberi beberapa pelajaran:
1. Sikap memaafkan yang dibarengi dengan perasaan lapang dada adalah sifatnya seorang muhsin.
2. Seorang muhsin keutamaannya adalah dicintai Allah Ta’ala. Dan keutamaan orang yang dicintai Allah Ta’ala adalah:
- Masuk surga.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضى الله عنه قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ « وَمَا أَعْدَدْتَ  لِلسَّاعَةِ ». قَالَ حُبَّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ قَالَ « فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, "Seorang lelaki pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, "Wahai Rasulullah, kapan hari kiamat?" Beliau menjawab, "Apa yang telah kamu siapkan untuk hari kiamat?" Lelaki itu menjawab, "Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Maka sungguh kamu akan bersama yang kamu cintai." (HR. Bukhari dan Muslim).
- Diharamkan oleh Allah Ta’ala untuk masuk neraka.
عنْ أَنَسٍ رضى الله عنه قَال: قَالََ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « والله, لاَ يُلْقِى اللَّهُ حَبِيبَهُ فِى النَّارِ ».
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Demi Allah, tidak akan Allah melemparkan orang yang dicintai-Nya ke dalam neraka." (HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 2047).
- Dicintai oleh seluruh malaikat 'alaihimussalam dan diterima oleh penduduk bumi
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ، ثُمَّ يُنَادِى  جِبْرِيلُ فِى السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوهُ ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ وَيُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِى أَهْلِ الأَرْضِ
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Jika Allah Tabaraka wa Ta’ala mencintai seorang hamba, maka Allah Ta’ala memanggil Jibril: "Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan maka cintailah fulan", maka Jibril pun mencintainya, kemudian Jibril menyeru di langit: "Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan maka cintailah kalian fulan", maka penduduk langit pun mencintainya dan baginya pun penerimaan/ rasa simpatik penduduk bumi". (HR. Bukhari).


--@--@--@--@--@--@--@--@--@--@--@-@--@--@--@--@--@--@--@--@--@--@--


Dalam psikologi, memaafkan merupakan aktivitas yang penting dan bermakna positif bagi diri seseorang (materi tentang pemaknaan positif insya Allah menyusul). Mengapa penting dan bermakna? karena memaafkan ini memiliki banyak manfaat bagi manusia. Manfaat dari memaafkan antara lain:

  1. Rasa marah kronis dan permusuhan berhubungan dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh, depresi, penyalahgunaan zat, status kesehatan yang buruk (Zechmeister, 2004). Hal ini juga dapat berhubungan dengan tingginya tekanan darah, dan masalah jantung (Enright, 2005). Worthington (dalam Lucia, 2005) mengatakan bahwa setiap kali seseorang merasa tidak memaafkan, ia menjadi lebih beresiko terkena masalah kesehatan.
  2. Memaafkan dapat menurunkan kecemasan dan depresi, serta bermanfaat bagi kesehatan fisik (Enright, 2005; Zechmeister, 2004).
  3. Memaafkan dapat mengurangi resiko terkena masalah jantung serta mengurangi permusuhan dan distress yang dirasakan seseorang (Lucia, 2005).
  4. Memaafkan juga bermanfaat sebagai mekanisme penyembuhan dan pemulihan trauma (Orcutt dalam Worthington, 1999).
  5. Orang yang memaafkan lebih mungkin mempunyai hubungan romantis dan persaudaraan yang stabil daripada orang yang tidak memaafkan (Worthington, 1998).
  6. Perasaan dendam dan sakit hati dalam suatu hubungan intim atau hubungan dekat dengan orang lain dapat mengganggu hubungan tersebut. Melepas rasa tidak senang dan usaha untuk memaafkan merupakan satu hal yang penting untuk mempertahankan kedekatan dan hubungan intim dengan orang lain (Corey&Corey, 2006).
  7. Memiliki fisik, emosi, dan sosial yang sehat menuntun seseorang ke arah hidup yang lebih bahagia seperti yang dikemukakan oleh Konstam (2000) bahwa selain dapat memperbaiki hubungan interpersonal, memaafkan dapat meningkatkan kesejahteraan (well-being), dll.


Sebelum memasuki term memaafkan, kita belajar tentang menerima..

Menerima, belum tentu memaafkan..

Namun menerima dapat merupakan bagian penting dari proses memaafkan.

Menerima dan memaafkan ini, bila dapat kita pahami dan aplikasikan dengan baik, insya Allah akan sangat membantu kita dalam mengatasi masalah-masalah yang terjadi dalam keseharian kita. Dalam hidup kita, masalah mungkin banyak aja ya.. Bahkan dari membaca status Facebook seseorang, kita bisa merasakan emosi negatif..

Yah, namanya hidup, apapun bisa menjadi ujian buat kita.. Besar atau kecil ujiannya.. Semoga kita mampu bersabar dan bersyukur selalu.. Aamiin..


Kalau dari teorinya sendiri, memaafkan itu apa, ya..? Yuk kita simak definisinya!

Definisi
Memaafkan adalah pusat untuk membangun manusia yang sehat dan dapat menjadi salah satu proses yang paling penting dalam pemulihan hubungan interpersonal setelah konflik (Toussaint dan Webb, 2005).

Menurut Enright (1998) perilaku memaafkan adalah adanya tindakan sebagai upaya yang dilakukan seseorang untuk tidak membalas menyakiti orang lain atas apa yang telah dilakukannya, melainkan memberikan pengampunan.

McCullough, dkk (1997) mengatakan bahwa perilaku memaafkan adalah konsep dasar yang menghambat seseorang untuk tetap mempertahankan permusuhan maupun upaya balas dendam, serta menjauhkan diri atau menghindar dari pelaku. Perilaku memaafkan pada akhirnya akan meningkatkan motivasi pada diri seseorang untuk melakukan untuk memperbaiki hubungan, berdamai dengan pelaku. (tuh kan, untuk memperbaiki hubungan dengan orang lain, berarti harus memaafkan terlebih dahulu.. jadi insyaALLAH lancar jaya ke depannya)

Seseorang, secara rasional merasa telah diperlakukan tidak adil, namun memilih meninggalkan kebencian atau membalas perlakuan (padahal mereka berhak), dan membalas pelaku berdasarkan prinsip moral kebaikan, yang mencakup kasih sayang, penerimaan tanpa syarat, kemurahan hati, dan cinta moral (yang sebenarnya tidak berhak dimiliki oleh pelaku) (Enright & Fitzgibbons, 2000)

Dari beberapa definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa memaafkan bisa terjadi jika orang yang disakiti melakukan 4 hal, yaitu:

  • Tidak berusaha untuk menghindar/menjauhkan diri dari pelaku
  • Bersedia untuk tetap berkomunikasi ataupun berdamai dengan pelaku
  • Tidak ada/hilangnya perasaan negatif seperti marah, benci, marah maupun dendam
  • Disertai dengan rasa cinta, kemurahan hati, tanpa syarat


Dimensi Perilaku Memaafkan
Menurut Zechmeister & Romero (2002), terdapat tiga dimensi dari perilaku memaafkan, yaitu:

a. True Forgiveness (memaafkan sejati)
Perilaku memaafkan dalam kategori ini mampu melibatkan dua dimensi, yaitu dimensi intrapsikis (emosi dan kognitif) dan dimensi interpersonal. True forgiveness merupakan suatu pilihan yang secara sadar dilakukan saat individu mampu menggantikan tuntutan mereka terhadap orang lain dan menggantikannya dengan respon yang mengarah pada perbaikan hubungan. Selain itu perilaku memaafkan ini juga tidak mengharapkan balasan atau bersifat unconditionally (tanpa syarat)/ikhlas/ lapang dada.

b. Hollow Forgiveness (memaafkan yang hampa)
Perilaku memaafkan yang terjadi hanya melibatkan dimensi interpersonal tanpa melibatkan aspek emosi dan kognitif di dalamnya, misalnya berpura-pura telah berbaikan dan memaafkan pihak yang bertikai dengannya, namun sebenarnya tidak dapat melupakan konflik yang terjadi.

c. Silent Forgiveness (memaafkan bisu)
Dalam hal ini, perilaku memaafkan yang terjadi hanya pada tataran emosi dan kognitif saja, akan tetapi tidak melalui tataran interpersonal dengan orang lain. Individu tidak mengungkapkan perilaku memaafkan ke dalam jalinan hubungan sosial dengan orang lain.


Nah, kalau kita lihat memaafkan dari dimensinya, tentunya memaafkan sejati adalah yang terbaik..
yang berlapang dada... Namun, mengapa tidak selalu mudah melakukannya ya?

Jawabannya, karena sebelum memaafkan, ada prosesnya dulu yang membutuhkan kesiapan dari kita.. Apa saja yang kita butuhkan dan dapat kita lakukan agar dapat mencapai memaafkan sejati ini?
Ini.. di antaranya:

  • Menyadari adanya pelanggaran >kalo ngga ada, ngapain memaafkan =D
  • Adanya kemampuan kognisi tertentu

Untuk dapat memaafkan, kita butuh kemampuan melakukan refleksi diri, melakukan kontrol atas emosi dan respon emosi tertentu (North dalam Pertiwi, 2004). *Masih inget dengan manajemen marahnya kan ya?? 
Karena sebenarnya memaafkan juga bukan proses yang mudah.. ada hal-hal yang perlu dipikirkan dan 'ditimbang-timbang', walaupun biasanya ujung-ujungnya tetap kita maafkan =D

  • Adanya kerelaan diri untuk melepaskan ’hak’ membalas pelaku biasanya kita punya emosi negatif untuk membalas perbuatan pelaku. 
Ngga relaaa... pokoknya ngga rela... musti baleees... itu adalah 'hak' korban juga sih, atas perbuatan yang telah dilakukan pelaku. Nah, dalam memaafkan, korban dengan rela dan ikhlas melepaskan ’hak’ tersebut (Smedes dalam Worthington, 1998). Menurut Smedes, melepaskan ’hak’ adalah esensi dari memaafkan. No revenge…
  • Adanya proses humanisasi pada pelaku

Untuk dapat memaafkan orang lain, korban harus mampu untuk melihat bahwa pelaku bukanlah orang jahat yang sengaja melakukan kesalahan. Korban justru memandang bahwa pelaku bertindak menyakiti korban karena pelaku adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan (Smedes dalam Worthington, 1998).

  • Adanya empati pada pelaku

Empati merupakan hal yang penting dalam memaafkan orang lain karena dalam memaafkan orang lain, korban dapat berempati pada pelaku dan memahami bahwa pelaku juga mengalami penderitaan berupa rasa bersalah akibat perbuatan menyakitkan yang telah dilakukan kepada korban (Pargament dalam Worthington, 1998).


Semoga materi ini bermanfaat.. kami yakin kalau teman-teman insya Allah dapat atau malah sudah
memaafkan orang tua kita...

Ingat juga untuk memaafkan diri kita atas kesalahan-kesalahan kita sendiri.. jangan jadi makhluk yang mendholimi diri sendiri...

Semoga kita juga mampu memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain yang pernah menyakiti kita..
itu lebih baik untuk diri kita.. namun, biarkan kita memilih dan berproses yang terbaik...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar